Selasa, 22 November 2016

Kisah Indah Tak Selalu Indah

Kisah Indah Tak Selalu Indah #part3

(Fransisca Putri A.)

Aku melirik sedikit basecamp Karate. Aku lihat Kirana menggunakan seragam karate miliknya dan berlatih bersama rekannya. Semua gerakan yang dilakukan Kirana kacau, karena saat itu Kirana sedang emosi. Tiba-tiba, brug... Kirana terjatuh dan sepertinya ada yang salah dengan pergelangan kaki Kirana.  Spontan aku membuang susu coklatnya dan berlari ke arah Kirana. Aku hendak menolongnya. Tapi saat aku memegangnya, aku tersentak karena Kirana langsung menampis tanganku. Wajahnya masih terlihat sekali jika dia kecewa denganku. Rino memegang bahuku dan mengajakku pergi. Sepanjang perjalanan ke parkiran air mataku tak bisa berhenti.
“Udah dong jangan nangis, orang-orang pada ngeliatin kamu tuh! Nanti dikira aku ngapa-ngapain kamu lagi. Aku kan nggak mau dikira bikin nangis orang yang selalu terlihat bahagia di sekolahan.” Hibur Rino. Aku menghapus air mataku. Lalu tersenyum walaupun itu senyum yang penuh dengan kesedihan.
Keesokkannya Kirana tak pernah duduk sebangku lagi denganku. Ada rasa bersalah dalam hatiku. Teman-teman di kelas menanyakan pertanyaan yang sama ‘kamu sama Kirana ada apa? Lagi marahan ya?’ jika ditanya seperti itu, aku hanya bisa mengangkat bahu lalu pergi meninggalkan mereka. Entah kenapa, aku merasa semua menjauhiku. Kirana, Gio, bahkan Rino jika disekolahan tak ada waktu untukku. Aku kesepian.
Dua minggu berjalan. Aku masih sama seperti hari kemarin. Kesepian. Ke kantin sendiri, bellajar sendiri, ngerjain tugas sendiri, dan kemana-mana pun aku sendiri. Pulang sekolah langsung pulang, nggak pernah ke sanggar lagi, apalagi liat basecamp Karate. Aku juga tak pernah memperhatikan kehebohan di kelasku. Aku hanya berkecamuk dengan pikiranku sendiri.
“Agatha...” lirih sesorang membuyarkan lamunanku.  Aku menatap orang itu, betapa terkejutnya aku  melihat seseorang yang sudah menghilang dalam hidupku ini selama 2 minggu belakangan ini. Ya orang itu adalah
“Kirana....!?!?!?” tanyaku shok. Kirana mengangguk.”Ada apa Kir? Kamu dah nggak marah sama aku?? Kamu dah mau maafin aku? Kamu...” ucapku terpotong karena telunjuk Kirana tiba-tiba menempel di bibirku.
“Sssstttthhh.... nggak usah banyak tanya deh, berisik tahu nggak sih. Aku dah nggak marah sama kamu, aku juga udah maafin kamu. Aku juga mau minta maaf sama kamu karena udah marah sama kamu, sebenarnya aku marah hanya hari itu aja. Tapi, setiap aku liat kamu dan liat Vany emosiku kembali naik. Akhirnya aku pindah tempat duduk dari pada aku marah terus ke kamu. Lalu aku perhatiin kamu selama  ini, kamu nggak kaya Agatha yang aku kenal, kamu berubah. Kamu jadi terlihat murung,kamu nggak merhatiin pelajaran lagi, habis itu kamu kaya patung di kelas ini. Orang mau nyapa kamu jadi segan, takut kamu  marah. Bahkan kamu mantengin buku yang sama beberapa jam tanpa  kamu rubah halamannya. Tapi aku tahu itu bukan kamu yang sebenarnya.
Aku jadi merasa bersalah. Rino dah ceritain semuanya, termasuk tentang perubahan sikap kamu di sekolah. Karena Rino, aku tahu jika kamu berubah karena aku. Maafkan aku ya, aku dah buat kamu jadi kaya gini. Aku tahu kamu cewek yang kuat, kamu itu setia, nggakmungkin ngehianatin aku. Andai saja aku kenalin Vany dar dulu,mungkin kamu nggak bakal suka sama Gio yang notabene adalah orang yang sama. Kamu mungkin nggak sadar, kalau selama ini Gio berusaha ngajak kamu bicara karena kamu nggak pernah sadar akan kehadirannya. Aku udah ikhlas kok kalo kamu sama Gio atau Vany itu jadian. Kalian itu sahabat terbaikku. Aku nggak mau kalian jadi kaya gini Cuma gara-gara aku yang egois.
Aku yakin sampai kapan pun kalian akan jadi sahabat terbaik yang aku punya. Dan aku sudah punya seseorang yang selalu ada buat aku, orang yang udah nyardarin aku kalau dia itu yang menyanyangi aku dengana tulus, dengan kekuranganku dan kelebihanku, dia yang selalu bisa mengendalikan emosiku, dia yang udah nyadarin aku kalau kamu adalah sahabat terbaik yang aku punya, dan aku akan menyesal jika aku sampai kehilagan kamu. Kamu masih mau kan jadi sahabat aku??” jelas Kirana panjang lebar. Aku nggak peduli seberapa panjang penjelasan Kirana, yang aku pedulikan adalah Kirana sudah tak marah lagi denganku. Air mataku menetes tak tertahankan. Aku menangis sejadi—jadinya dan memeluk Kirana dengan erat, seakan aku takut kehilangan Kirana untuk kedua kalinya. Aku melepas pelukkanku
“Oh ya, kira-kira dia itu siapa ya? Boleh aku tahu?” tanya ku teringat akan kata-katanya tadi. Kirana mengangguk. Lalu Kirana menarikku dan menuntunku berjalan ke pojok kelas yang berisi gerombolan cowok. Apa yang dimaksud itu Gio? Kenapa hatiku terasa teriris ketika menyadari cowok itu adalah Gio? Tak apalah semua demi persahabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar