Kisah Indah Tak Selalu Indah #part3
(Fransisca Putri A.)
Aku
melirik sedikit basecamp Karate. Aku lihat Kirana menggunakan seragam karate
miliknya dan berlatih bersama rekannya. Semua gerakan yang dilakukan Kirana
kacau, karena saat itu Kirana sedang emosi. Tiba-tiba, brug... Kirana terjatuh
dan sepertinya ada yang salah dengan pergelangan kaki Kirana. Spontan aku membuang susu coklatnya dan
berlari ke arah Kirana. Aku hendak menolongnya. Tapi saat aku memegangnya, aku
tersentak karena Kirana langsung menampis tanganku. Wajahnya masih terlihat
sekali jika dia kecewa denganku. Rino memegang bahuku dan mengajakku pergi.
Sepanjang perjalanan ke parkiran air mataku tak bisa berhenti.
“Udah
dong jangan nangis, orang-orang pada ngeliatin kamu tuh! Nanti dikira aku
ngapa-ngapain kamu lagi. Aku kan nggak mau dikira bikin nangis orang yang
selalu terlihat bahagia di sekolahan.” Hibur Rino. Aku menghapus air mataku.
Lalu tersenyum walaupun itu senyum yang penuh dengan kesedihan.
Keesokkannya
Kirana tak pernah duduk sebangku lagi denganku. Ada rasa bersalah dalam hatiku.
Teman-teman di kelas menanyakan pertanyaan yang sama ‘kamu sama Kirana ada apa?
Lagi marahan ya?’ jika ditanya seperti itu, aku hanya bisa mengangkat bahu lalu
pergi meninggalkan mereka. Entah kenapa, aku merasa semua menjauhiku. Kirana,
Gio, bahkan Rino jika disekolahan tak ada waktu untukku. Aku kesepian.
Dua
minggu berjalan. Aku masih sama seperti hari kemarin. Kesepian. Ke kantin
sendiri, bellajar sendiri, ngerjain tugas sendiri, dan kemana-mana pun aku
sendiri. Pulang sekolah langsung pulang, nggak pernah ke sanggar lagi, apalagi
liat basecamp Karate. Aku juga tak pernah memperhatikan kehebohan di kelasku.
Aku hanya berkecamuk dengan pikiranku sendiri.
“Agatha...”
lirih sesorang membuyarkan lamunanku.
Aku menatap orang itu, betapa terkejutnya aku melihat seseorang yang sudah menghilang dalam
hidupku ini selama 2 minggu belakangan ini. Ya orang itu adalah
“Kirana....!?!?!?”
tanyaku shok. Kirana mengangguk.”Ada apa Kir? Kamu dah nggak marah sama aku??
Kamu dah mau maafin aku? Kamu...” ucapku terpotong karena telunjuk Kirana
tiba-tiba menempel di bibirku.
“Sssstttthhh....
nggak usah banyak tanya deh, berisik tahu nggak sih. Aku dah nggak marah sama
kamu, aku juga udah maafin kamu. Aku juga mau minta maaf sama kamu karena udah
marah sama kamu, sebenarnya aku marah hanya hari itu aja. Tapi, setiap aku liat
kamu dan liat Vany emosiku kembali naik. Akhirnya aku pindah tempat duduk dari
pada aku marah terus ke kamu. Lalu aku perhatiin kamu selama ini, kamu nggak kaya Agatha yang aku kenal,
kamu berubah. Kamu jadi terlihat murung,kamu nggak merhatiin pelajaran lagi,
habis itu kamu kaya patung di kelas ini. Orang mau nyapa kamu jadi segan, takut
kamu marah. Bahkan kamu mantengin buku
yang sama beberapa jam tanpa kamu rubah
halamannya. Tapi aku tahu itu bukan kamu yang sebenarnya.
Aku
jadi merasa bersalah. Rino dah ceritain semuanya, termasuk tentang perubahan
sikap kamu di sekolah. Karena Rino, aku tahu jika kamu berubah karena aku.
Maafkan aku ya, aku dah buat kamu jadi kaya gini. Aku tahu kamu cewek yang
kuat, kamu itu setia, nggakmungkin ngehianatin aku. Andai saja aku kenalin Vany
dar dulu,mungkin kamu nggak bakal suka sama Gio yang notabene adalah orang yang
sama. Kamu mungkin nggak sadar, kalau selama ini Gio berusaha ngajak kamu bicara
karena kamu nggak pernah sadar akan kehadirannya. Aku udah ikhlas kok kalo kamu
sama Gio atau Vany itu jadian. Kalian itu sahabat terbaikku. Aku nggak mau
kalian jadi kaya gini Cuma gara-gara aku yang egois.
Aku
yakin sampai kapan pun kalian akan jadi sahabat terbaik yang aku punya. Dan aku
sudah punya seseorang yang selalu ada buat aku, orang yang udah nyardarin aku
kalau dia itu yang menyanyangi aku dengana tulus, dengan kekuranganku dan
kelebihanku, dia yang selalu bisa mengendalikan emosiku, dia yang udah nyadarin
aku kalau kamu adalah sahabat terbaik yang aku punya, dan aku akan menyesal
jika aku sampai kehilagan kamu. Kamu masih mau kan jadi sahabat aku??” jelas
Kirana panjang lebar. Aku nggak peduli seberapa panjang penjelasan Kirana, yang
aku pedulikan adalah Kirana sudah tak marah lagi denganku. Air mataku menetes
tak tertahankan. Aku menangis sejadi—jadinya dan memeluk Kirana dengan erat,
seakan aku takut kehilangan Kirana untuk kedua kalinya. Aku melepas pelukkanku
“Oh
ya, kira-kira dia itu siapa ya? Boleh aku tahu?” tanya ku teringat akan
kata-katanya tadi. Kirana mengangguk. Lalu Kirana menarikku dan menuntunku
berjalan ke pojok kelas yang berisi gerombolan cowok. Apa yang dimaksud itu
Gio? Kenapa hatiku terasa teriris ketika menyadari cowok itu adalah Gio? Tak apalah
semua demi persahabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar